HUKUM PERCERAIAN
BOLEHKAH BERCERAI DENGAN ALASAN APAPUN..?
BAGAIMANA DENGAN PERZINAHAN..?
APAKAH BOLEH MENIKAH LAGI SETELAH BERCERAI..?
BACA DENGAN TELITI DAN HATI TERBUKA UNTUK MENERIMA KEBENARAN FIRMAN TUHAN...!!!
1
korintus 7:10-11 Rasul Paulus memberikan petunjuk kepada jemaat
di Korintus tentang masalah yang pasti sering terjadi di kala itu, terutama di
antara orang-orang Yahudi yang sudah bertobat. Masalah yang saya maksudkan
adalah apakah mereka harus meneruskan hidup pernikahan dengan pasangan yang
kafir. Hukum Musa memperbolehkan perceraian, dan orang banyak sudah tahu bahwa
pernah terjadi masalah di negeri Yahudi, ketika mereka diharuskan mengusir
semua istri mereka yang menyembah berhala (Ezr. 10:3). Hal ini bisa saja
membingungkan pikiran banyak orang, apakah mereka yang sudah menjadi Kristen
wajib mengusir atau meninggalkan pasangan mereka yang tetap kafir. Mengenai hal
ini Rasul Paulus memberikan petunjuk di sini. Dan,
I. Secara umum, Paulus
memberi tahu mereka bahwa perkawinan, menurut perintah Kristus, adalah untuk
seumur hidup, dan karena itu mereka yang sudah menikah tidak boleh berpikir
untuk bercerai. Seorang isteri tidak boleh menceraikan
suaminya (ay. 10), dan seorang suami
tidak boleh menceraikan isterinya (ay. 11). Ini aku perintahkan, tegas Rasul Paulus, namun bukan aku, tetapi Tuhan. Tidak berarti bahwa Rasul
Paulus memberikan perintah-perintah apa saja dari kepalanya sendiri, atau atas
kewenangannya sendiri. Apa pun yang diperintahkannya adalah perintah Tu han,
disampaikan kepadanya oleh Roh-Nya dan diperintahkan dengan kewenangan-Nya.
Tetapi yang dimaksudkannya adalah bahwa Tuhan sendiri, dengan mulut-Nya
sendiri, telah melarang perceraian-perceraian seperti itu (Mat. 5:32; 19:9;
Mrk. 10:11; Luk. 16:18). Perhatikanlah, suami dan istri tidak bisa bercerai
sesuka hati, atau, kapan saja mereka mau, memutuskan ikatan dan hubungan
perkawinan. Mereka tidak boleh bercerai dengan alasan apa pun selain daripada
yang diperbolehkan Kristus. Dan karena itu, Rasul Paulus menyarankan jika
seorang perempuan sudah bercerai, entah karena keinginan sendiri atau perbuatan
suaminya, ia harus tetap tidak menikah, dan berusaha berdamai dengan suaminya,
supaya mereka bisa hidup kembali sebagai suami istri. Perhatikanlah, suami
istri tidak boleh bertengkar sama sekali, atau kalau bertengkar, mereka harus
cepat-cepat berdamai. Mereka terikat satu sama lain seumur hidup. Hukum ilahi
tidak memperbolehkan perceraian. Mereka tidak boleh menanggalkan beban itu, dan
karena itu harus mempersiapkan bahu mereka untuk memikulnya, dan berusaha
menjadikan beban itu seringan mungkin bagi satu sama lain.
II. Rasul Paulus
memberikan satu contoh nyata dari nasihat umum itu, mengenai orang yang
mempunyai pasangan yang tidak beriman (ay. 12): Kepada
orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan. Maksudnya, Tuhan
tidak berbicara begitu jelas tentang masalah ini seperti tentang masalah
perceraian sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa Rasul Paulus berbicara tanpa
kewenangan dari Tuhan, atau memutuskan masalah ini dengan kebijaksanaannya
sendiri tanpa ilham Roh Kudus. Justru ia menutup pembicaraan di sini dengan
pernyataan sebaliknya (ay. 40), dan aku berpendapat, bahwa
aku juga mempunyai Roh Allah. Tetapi, karena sudah mengawali
nasihatnya seperti itu, kita bisa memperhatikan,
1. Nasihat itu sendiri,
yaitu bahwa jika suami atau istri yang tidak beriman senang hidup dengan
pasangannya yang Kristen, maka pasangan yang Kristen tidak boleh
menceraikannya. Suami tidak boleh menceraikan istrinya yang tidak beriman, dan
istri tidak boleh menceraikan suaminya yang tidak beriman (ay. 12-13).
Panggilan menjadi orang Kristen tidak memutuskan janji perkawinan, tetapi
justru mengikatnya lebih erat. Panggilan itu membawa perkawinan kembali kepada
ketetapan asali, dengan membatasinya hanya untuk dua orang, dan mengikat mereka
bersama-sama seumur hidup. Orang percaya, melalui iman dalam Kristus, tidak
dibebaskan dari ikatan perkawinan dengan orang tidak beriman, tetapi terikat
dan sekaligus dimampukan untuk menjadi pasangan yang lebih baik. Akan tetapi,
meskipun istri atau suami yang beriman tidak boleh menceraikan pasangannya yang
tidak beriman, namun jika pasangan yang tidak beriman itu meninggalkan orang
beriman, dan tidak ada cara lain yang bisa mendamaikan mereka untuk hidup
bersama, maka dalam hal yang demikian saudara atau
saudari tidak terikat (ay. 15). Mereka tidak terikat untuk
menyenangkan pasangan mereka secara tidak masuk akal, atau memperbudak diri
pada pasangan mereka dengan mengikuti atau melekat pada pasangan mereka yang
dengan jahat telah meninggalkan mereka. Atau mereka tidak terikat untuk tetap
menduda atau menjanda setelah segala cara yang tepat untuk berdamai sudah
ditempuh, setidak-tidaknya jika pasangan yang meninggalkan itu kawin lagi atau
bersalah atas perzinahan. Masalah ini sangat beralasan, karena itu sudah biasa
terjadi di kalangan penduduk kafir di Korintus. Dalam keadaan seperti itu,
pihak yang ditinggalkan harus dibebaskan untuk menikah lagi, dan itu sepenuhnya
diperbolehkan. Dan menurut sebagian orang, meninggalkan pasangan dengan keji
seperti itu berarti telah memutuskan janji perkawinan, seperti halnya kematian
memisahkan janji itu. Sebab bagaimana mungkin keduanya
akan menjadi satu daging jika salah satunya secara keji beralih
meninggalkan atau mencampakkan yang lain? Sesungguhnya orang yang meninggalkan
pasangannya itu tampaknya masih terikat oleh janji perkawinan. Oleh karena itu
Rasul Paulus berkata (ay. 11), dan jikalau ia
bercerai, karena ketidaksetiaan suaminya, ia
harus tetap hidup tanpa suami. Namun pihak yang ditinggalkan
tampaknya dibiarkan lebih bebas (maksud saya, apabila segala cara yang tepat
sudah dicoba untuk membawa kembali pihak yang meninggalkan, dan jika
keadaan-keadaan lain membuatnya perlu) untuk menikah dengan orang lain. Tampak
tidak masuk akal kalau mereka harus tetap terikat, sebab mustahil mereka
menjalankan kewajiban sebagai suami istri atau menikmati penghiburan sebagai
suami istri, karena kesalahan pasangan mereka sendiri. Dalam kasus seperti itu,
perkawinan memang akan menjadi perbudakan. Akan tetapi, apa pun kebebasan yang
diperbolehkan bagi orang-orang Kristen dalam keadaan seperti ini, mereka tidak
boleh bercerai hanya karena suami atau istri selingkuh. Sebaliknya, jika orang
yang tidak beriman mau bertahan, mereka harus meneruskan hubungan itu, dan
tinggal bersama sebagai suami istri. Inilah petunjuk umum Rasul Paulus.
2. Berikut ini kita
mendapati alasan-alasan dari nasihat ini.
(1) Sebab hubungan atau
keadaan perkawinan disucikan oleh kekudusan salah satu pihak: Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan
isteri yang tidak beriman itu dikuduskan, atau sudah dikuduskan, oleh suaminya (ay. 14). Hubungan
itu sendiri, dan hidup sebagai suami istri, dikuduskan bagi orang
percaya. Bagi orang suci semuanya suci (Tit.
1:15). Perkawinan adalah ketetapan ilahi. Perkawinan adalah perjanjian seumur
hidup, menurut ketentuan Allah. Seandainya bergaul dan hidup bersama dengan
orang-orang yang tidak beriman dalam hubungan perkawinan menajiskan orang
percaya, atau membuatnya tidak berkenan pada Allah, maka tujuan-tujuan perkawinan
akan digagalkan, dan penghiburan-penghiburannya dalam arti tertentu
dihancurkan, melihat keadaan hidup orang-orang Kristen pada waktu itu. Akan
tetapi Rasul Paulus memberi tahu mereka bahwa, meskipun mereka hidup
berpasangan dengan orang-orang tidak beriman, namun, jika mereka sendiri kudus,
maka bagi mereka pernikahan itu kudus, dan kenikmatan-kenikmatan dari
perkawinan, bahkan dengan pasangan yang tidak beriman, adalah kesenangan yang
dikuduskan. Allah tidak akan murka terhadap mereka jika mereka terus hidup
dengan pasangan yang tidak beriman atau kafir, sama seperti Ia tidak akan murka
jika mereka sama-sama bertobat. Jika salah satu pasangan sudah menjadi kudus,
tidak ada kewajiban atau kesenangan yang halal dari pernikahan yang bisa
mencemarkan mereka, dan membuat mereka tidak berkenan pada Allah, sekalipun
pasangan yang satunya kafir. Ia dikuduskan karena istrinya. Istri dikuduskan
karena suami. Keduanya adalah satu daging. Suami yang menjadi satu daging
dengan istrinya yang kudus harus dipandang bersih, dan begitu pun
sebaliknya: Andaikata tidak demikian, niscaya
anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak
kudus (ay. 14), maksudnya, jika tidak demikian halnya, maka
mereka akan menjadi kafir, berada di luar naungan jemaat dan kovenan Allah.
Mereka tidak akan menjadi tunas yang kudus (sebagaimana orang-orang Yahudi
disebut dalam Yes. 6:13), tetapi najis dan tidak tahir, dalam arti yang sama
seperti orang-orang kafir pada umumnya digambarkan dalam penglihatan Rasul
Petrus (Kis. 10:28). Cara berbicara seperti ini sesuai dengan bahasa orang
Yahudi. Bagi mereka, anak yang dilahirkan dari orangtua kafir dikatakan sebagai
dilahirkan di luar kekudusan, dan anak yang
dilahirkan dari orangtua yang menjadi Yahudi dikatakan sebagai dilahirkan intra sanctitatem – di dalam bilik yang kudus. Itulah
sebabnya orang-orang Kristen biasa disebut sebagai orang-orang
kudus. Mereka menjadi kudus melalui pengakuan iman, dipisahkan untuk
menjadi umat yang dikhususkan bagi Allah, dan dengan begitu dibedakan dari
dunia. Oleh karena itulah anak-anak yang dilahirkan bagi orang Kristen,
meskipun orang itu menikah dengan pasangan yang tidak beriman, tidak dianggap
sebagai bagian dari dunia, melainkan sebagai bagian dari jemaat, tunas yang
kudus, bukan tunas yang najis dan tidak tahir. “Karena itu teruslah hidup
bahkan dengan pasangan yang tidak beriman sekalipun. Sebab, jika kamu kudus,
hubungan perkawinanmu kudus, keadaan perkawinanmu kudus, maka kamu bisa hidup
secara kudus dengan pasanganmu yang tidak beriman sekalipun, dalam menjalankan
kewajiban-kewajiban sebagai suami istri, dan tunasmu pun akan menjadi kudus.”
Betapa menghiburnya ini, jika kedua pasangan sama-sama orang percaya!
(2) Alasan lain adalah
bahwa Allah memanggil orang-orang untuk hidup dalam damai
sejahtera (ay. 15). Agama Kristen mewajibkan kita untuk hidup
rukun dalam segala hubungan, baik dengan sesama anggota keluarga maupun
masyarakat. Kita wajib, sedapat-dapatnya, kalau hal itu
bergantung pada kita, untuk hidup dalam perdamaian dengan semua orang (Rm.
12:18). Karena itu kita tentu harus memajukan perdamaian dan penghiburan bagi
saudara-saudara terdekat kita, orang-orang yang sedarah daging dengan kita,
bahkan sekalipun mereka tidak beriman. Perhatikanlah, pasangan suami istri
haruslah berupaya membuat satu sama lain senyaman dan sebahagia mungkin. Alasan
ketiga adalah bahwa mungkin saja pasangan yang percaya itu menjadi alat bagi
keselamatan yang lain (ay. 16): Sebab bagaimanakah
engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu?
Perhatikanlah, jelas menjadi kewajiban orang-orang percaya untuk mengusahakan
keselamatan bagi kerabat-kerabat dekat mereka. “Jangan bercerai. Ada kewajiban
lain yang harus dilakukan sekarang. Hubungan suami istri menuntut perhatian dan
kasih sayang mesra. Itu perjanjian seumur hidup. Haruskah orang Kristen
meninggalkan pasangannya, padahal ada kesempatan untuk menunjukkan bukti kasih
yang termulia? Tinggallah, dan berusahalah sepenuh hati untuk mempertobatkan
pasanganmu. Berupayalah menyelamatkan sebuah jiwa. Siapa tahu inilah saatnya?
Itu tidak mustahil. Dan, seandainya pun kemungkinannya kecil, menyelamatkan
jiwa adalah pelayanan yang begitu baik dan mulia sehingga adanya kemungkinan
itu sendiri haruslah mendorong orang untuk berusaha sekuat tenaga untuk
melakukannya.” Perhatikanlah, kemungkinan berhasil saja seharusnya cukup
menjadi alasan bagi kita untuk berupaya dengan tekun menyelamatkan jiwa
saudara-saudara kita. “Siapa tahu aku dapat menyelamatkan
jiwanya? Pertanyaan inilah yang harus menggugahku untuk
mencobanya.”
injil matius
Dalam perikop ini kita
menemukan hukum Kristus mengenai masalah perceraian. Perbincangan mengenai
hukum ini muncul, seperti halnya dengan beberapa pernyataan kehendak-Nya yang
lain, karena perdebatan-Nya dengan kaum Farisi.
Betapa sabarnya Dia berurusan dengan perlawanan orang-orang fasik,
sampai-sampai kesempatan tersebut pun dijadikan-Nya sebagai bahan pengajaran
bagi murid-murid-Nya!
Perhatikanlah di sini:
I. Pokok masalah yang
dipertanyakan oleh kaum Farisi (ay. 3) adalah, Apakah
diperbolehkan orang menceraikan istrinya? Hal ini mereka
kemukakan untuk mencobai Dia, bukan untuk mendapatkanu pengajaran dari-Nya.
Sebelumnya di Galilea, Dia telah mengemukakan pandangan-Nya mengenai masalah
tersebut, bahwa Ia sangat menentang kebiasaan umum pada masa tersebut
(5:31-32). Kaum Farisi ingin menjebak Dia dengan membuat-Nya mengemukakan
pandangan-Nya mengenai masalah perceraian, sehingga mereka dapat menggunakan
perkataan-Nya untuk menyerang-Nya dan menghasut orang-orang untuk
menentang-Nya. Hal ini mereka lakukan karena menganggap Dia telah mengekang
kebebasan mereka dalam hal-hal yang sudah menjadi kesukaan mereka. Mereka
berharap Dia bisa bersikap lunak mengenai hukum-hukum-Nya terhadap cita rasa
orang-orang itu, misalnya dalam hal perceraian. Dalam akal bulus mereka: jika
Kristus berkata bahwa perceraian bertentangan dengan hukum Taurat, maka mereka
akan menyebut-Nya sebagai penentang hukum Musa, karena dalam hukum Musa hal
tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, jika Dia berkata perceraian itu
diperbolehkan, maka mereka dapat menyerang ajaran-Nya sebagai hal yang cacat,
karena ajaran semacam ini bukan berasal dari Mesias, karena walaupun perceraian
diperbolehkan, bagi sebagian orang yang lebih ketat dalam hal hukum, tindakan
tersebut dianggap tercela. Sebagian orang berpikir bahwa, walaupun hukum Musa
memperbolehkan perceraian, masih ada beda pendapat di antara kaum Farisi
sendiri mengenai pembenaran atas perbuatan tersebut, sehingga mereka ingin
mendengar bagaimana pandangan Kristus sendiri mengenai hal tersebut. Ada banyak
masalah yang berkaitan dengan perkawinan, dan terkadang sifatnya rumit dan
membingungkan. Tetapi ini semua tidak disebabkan oleh hukum Allah, melainkan
oleh karena nafsu dan kebodohan manusia itu sendiri, dan sering kali dalam
menyelesaikan masalah-masalah ini, orang tidak mau bertanya lebih dulu apa yang
sebaiknya mereka lakukan.
Pertanyaan yang diajukan
kaum Farisi adalah, Apakah diperbolehkan orang
menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Untuk alasan
tertentu perceraian itu bisa saja diperbolehkan, terutama yang disebabkan oleh
karena terjadinya hubungan badan di luar nikah. Tetapi masalahnya, apakah
perceraian itu bisa diperbolehkan untuk alasan apa saja, seperti yang dewasa
ini dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya bebas? Apakah diperbolehkan dengan
alasan apa saja yang sesuai dengan kehendak hati seorang laki-laki walaupun
sifatnya hanya sepele saja? Oleh karena laki-laki itu sudah tidak suka atau
tidak senang lagi? Mengenai hal ini, hukum memperbolehkan adanya
perceraian: jika kemudian ia tidak menyukai lagi
perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya (Ul.
24:1). Ayat inilah yang ditafsirkan secara luas sekali oleh kaum Farisi itu
dengan memakai alasan-alasan yang tidak berdasar untuk mengadakan perceraian.
II. Jawaban Kristus
terhadap pertanyaan ini. Walaupun pertanyaan tersebut diajukan untuk mencobai
Dia, Ia tetap memberikan jawaban kepada mereka, karena ini menyangkut masalah
hati nurani dan penting sifatnya. Jawaban-Nya tidak langsung, tetapi sangat
mengena, karena mengemukakan prinsip-prinsip yang tidak dapat disangkal bahwa
perceraian yang dilakukan dengan sesuka hati, sehingga membuat ikatan
perkawinan menjadi tidak keruan pada masa itu, sama sekali tidak dapat
dibenarkan menurut hukum Taurat. Kristus tidak pernah memberikan peraturan
tanpa alasan yang masuk akal atau menjatuhkan suatu penilaian tanpa landasan
Kitab Suci untuk mendukungnya. Nah, pokok pikiran yang dikemukakan Kristus di
sini adalah: "Jika suami dan istri telah dipersatukan menurut kehendak dan
penentuan Allah, maka mereka tidak boleh dipisahkan begitu saja dengan alasan
apa pun. Jika mereka tahu bahwa ikatan itu suci adanya, ikatan itu tidak mudah
dilepaskan begitu saja. Nah, untuk membuktikan bahwa ikatan demikian antara
laki-laki dan perempuan memang ada, Kristus mengemukakan tiga bukti untuk
menopang pernyataan-Nya.
■ Penciptaan Adam dan
Hawa. Dengan ini Kristus mengajak mereka untuk berpikir berdasarkan pengetahuan
mereka akan Kitab Suci. Ia bertanya, "Tidakkah kamu
baca?"Ada suatu keuntungan tertentu dalam beradu pendapat
dengan mereka yang memiliki dan telah membaca Kitab Suci. Kamu sudah membaca
(tetapi tidak mempertimbangkannya) bahwa Ia yang
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan(Kej.
1:27, 5:2). Perhatikanlah, banyak kali, penting bagi kita untuk memikirkan
mengenai penciptaan kita sebagai manusia, bagaimana dan oleh siapa, apa dan
mengapa kita diciptakan. Tuhan menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan, satu wanita untuk satu laki-laki, supaya
Adam tidak dapat menceraikan Hawa dan mengawini wanita lain, karena memang
tidak ada wanita lain. Hal ini juga menyiratkan adanya ikatan yang tidak
terpisahkan di antara mereka. Hawa diambil dari sepotong tulang rusuk Adam
sendiri. Jadi, kalau ia menceraikan Hawa, itu berarti dia membuang bagian
tubuhnya sendiri dan menentang maksud penciptaan Hawa. Walaupun Kristus hanya
menyinggung hal ini sekilas saja, Ia berusaha menghubungkan pengetahuan kaum
Farisi itu dengan kutipan langsung dari Kitab Suci mengenai hal tersebut,
dengan menekankan bahwa, walaupun semua makluk hidup diciptakan secara
berpasang-pasangan, hanya pada manusialah ditemukan adanya ikatan perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas akal budi, yang dimaksudkan
untuk tujuan yang jauh lebih mulia daripada hanya sekadar memuaskan hawa nafsu
dan mempertahankan keturunan. Oleh karena itu, ikatan di antara laki-laki dan
perempuan, seperti halnya ikatan di antara Adam dan Hawa, lebih dalam dan kuat
dibandingkan dengan hewan yang tidak berakal budi. Karena itu, dalam Kitab Suci
ikatan ini diungkapkan secara agak khusus (Kej. 1:27): Menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Di sini kata dia dan mereka tidak digunakan untuk hanya satu jenis
kelamin saja, tetapi kedua-duanya. Mereka diciptakan satu, sebelum menjadi dua,
dan menjadi satu kembali lewat janji perkawinan. Kesatuan itu selalu sangat
dekat dan tidak mungkin dapat terceraikan.
■ Hukum perkawinan yang
paling mendasar adalah bahwa laki-laki akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya(ay. 5). Hubungan di
antara suami dan istri lebih dekat dibandingkan dengan hubungan di antara
orangtua dan anak-anaknya. Karena itu, jika hubungan antara orangtua dan
anak-anak saja tidak mudah dipisahkan, lebih-lebih lagi ikatan perkawinan itu
sendiri. Dapatkah seorang anak meninggalkan orangtuanya atau dapatkah orangtua
mencampakkan anaknya begitu saja sesuka hati tanpa alasan yang jelas? Tentu
saja tidak! Jadi, lebih-lebih lagi, seorang suami tidak boleh meninggalkan
istrinya, karena hubungan di antara mereka didasarkan atas kehendak ilahi,
bukan oleh alam. Hubungan itu lebih dekat dan ikatan perkawinan lebih kuat
sifatnya dibandingkan dengan hubungan di antara orangtua dan anak karena
seorang laki-laki harus meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan istrinya.
Lihatlah di sini betapa kuatnya suatu ketetapan ilahi itu sehingga penyatuan
yang dihasilkannya jauh lebih kuat daripada ketentuan-ketentuan alam yang
paling tinggi sekalipun.
■ Sifat dari ikatan
perkawinan adalah persatuan antara dua manusia, keduanya
itu menjadi satu daging, sehingga mereka bukan lagi dua, melainkan satu (ay.
6). Anak adalah bagian dari seorang laki-laki, tetapi istri adalah dirinya
sendiri. Ikatan dalam perkawinan lebih dekat daripada ikatan antara orangtua
dan anak-anaknya, dan kedekatan hubungan dari ikatan perkawinan ini dalam cara
tertentu sepadan dengan hubungan antara anggota tubuh yang satu dan anggota
tubuh yang lainnya. Selain menjadi landasan cinta kasih di antara suami dan
istri, hal ini juga menjadi landasan mengapa seseorang tidak boleh menceraikan
istrinya, karena tidak pernah orang membenci tubuhnya
sendiri atau menyingkirkan bagian tubuhnya sendiri. Sebaliknya,
ia akan mengasuhnya dan merawatinya serta
melakukan apa pun untuk menjaganya. Suami dan istri akan menjadi satu, karena
itu harus hanya ada satu istri saja, sebab Allah hanya menciptakan satu Hawa
untuk satu Adam (Mal. 2:15).
Dari penjelasan di atas,
Kristus menyimpulkan, "Apa yang telah dipersatukan
Allah tidak boleh diceraikan manusia."
Perhatikanlah:
(1) Suami dan istri
dipersatukan oleh Allah sendiri; synezeuxen -- Ia telah
menyatukan mereka dengan tali kekang, demikianlah kata yang dipakai
untuk itu, dan ini luar biasa penting. Allah sendiri yang menetapkan hubungan
suami dan istri dalam ikatan perkawinan sebagai sesuatu yang suci. Perkawinan
dan Hari Sabat adalah dua hukum Allah yang paling tua. Walaupun perkawinan itu
bukan khusus milik gereja saja, tetapi merupakan hal yang umum bagi dunia,
namun, hal ini disahkan melalui suatu ketetapan ilahi, dan diteguhkan di sini
oleh Yesus, Tuhan kita. Oleh karena itu, perkawinan itu hendaknya diatur menurut cara-cara yang sesuai dengan kehendak Allah dan dikuduskan
oleh firman Allah dan doa. Kalau kita menjalankan hukum perkawinan
ini dengan hati nurani yang tertuju kepada Allah, maka ini akan mendatangkan
pengaruh yang baik bagi kita dalam melaksanakan kewajiban kita satu sama lain
dalam hubungan perkawinan ini, dan kita akan memperoleh penghiburan dalam
hubungan ini.
(2) Suami dan istri,
yang dipersatukan oleh hukum Allah, tidak boleh diceraikan oleh hukum manusia
mana pun. Hendaklah manusia tidak menceraikan, suami sendiri pun tidak, atau siapa
pun yang mewakilinya; hakim juga tidak, karena Allah tidak pernah memberikannya
wewenang atas hal tersebut. Allah bangsa Israel telah berkata, "Aku membenci perceraian" (Mal. 2:16).
Sudah merupakan suatu aturan umum bahwa manusia tidak boleh menceraikan apa yang telah dipersatukan Allah.
III. Keberatan yang
dikemukakan oleh kaum Farisi terhadap hal ini.
Keberatan mereka ini
tampaknya beralasan (ay. 7), Apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai, jika seseorang
menceraikan istrinya? Kristus menekankan alasan alkitabiah yang menentang
perceraian, namun mereka juga menggunakan wewenang Alkitab yang menyetujui
perceraian itu. Perhatikanlah, pertentangan-pertentangan yang tampaknya ada
dalam firman Allah merupakan batu sandungan yang besar bagi orang-orang yang
akal budinya rusak. Tidak dipungkiri lagi bahwa Musa
setia kepada Dia yang telah menetapkannya, dan tidak memberikan
perintah lain selain apa yang diterimanya dari Tuhan. Namun
dalam hal ini, apa yang mereka anggap perintah sesungguhnya
hanyalah sebuah kelonggaran (Ul. 24:1),
yang lebih dimaksudkan untuk menahan supaya tindakan perceraian itu tidak
dilakukan secara berlebihan, dan bukannya untuk membenarkan tindakan tersebut.
Para ahli Taurat Yahudi sendiri menyadari adanya batasan-batasan dalam hukum
tersebut, yaitu bahwa perceraian tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan yang
matang. Harus ada alasan tertentu yang dikemukakan, surat cerai harus ditulis
dan, sebagai suatu tindakan hukum, surat cerai itu harus ditetapkan dan didaftarkan
dengan segala tata cara resmi. Surat itu harus diserahkan langsung ke dalam
tangan sang istri itu sendiri, dan mereka secara terbuka dilarang untuk
berkumpul bersama lagi selamanya (karena itu laki-laki diwajibkan untuk
mempertimbangkan dulu keputusan mereka itu).
IV. Jawaban Kristus
terhadap keberatan mereka ini, di mana.
■ Ia mengoreksi
kesalahan mereka berkenaan dengan hukum Musa. Mereka menyebutnya perintah, namun Kristus menyebutnya suatu izin atau kelonggaran saja.
Hati yang penuh kedagingan akan mengambil sehasta jika diberikan seinci. Hukum
Musa, dalam hal ini, adalah hukum politis yang diberikan oleh Allah kepadanya
sebagai pemimpin bangsa Yahudi, dan alasan perceraian diperbolehkan adalah demi
bangsa tersebut. Eratnya ikatan perkawinan adalah hasil dari hukum positif,
bukan hukum alam. Hikmat Allah memberikan kelonggaran untuk perceraian dalam
beberapa hal, tanpa meniadakan kesucian-Nya.
Akan tetapi, Yesus
memberi tahu mereka bahwa ada alasan mengapa kelonggaran ini diberikan. Hal ini
sama sekali bukan untuk menghormati mereka, melainkan karena
ketegaran hatimu, kamu diperbolehkan untuk
menceraikan istrimu. Musa pernah berkeluh kesah mengenai bangsa
Israel pada zamannya, bahwa mereka degil dan tegar
tengkuk (Ul. 9:6, 31:27), suka menentang Allah, mengeraskan
hati dalam hubungan mereka dengan Dia; mereka umumnya kejam dan liar, baik
dalam nafsu maupun kesenangan mereka. Oleh karena itu, jika mereka tidak
diperbolehkan untuk menceraikan istri mereka ketika mereka sudah tidak menyukai
istri mereka lagi, maka mereka mungkin memperlakukan istri mereka dengan kejam.
Mereka akan memukul dan menganiaya, bahkan mungkin akan membunuh istri mereka.
Perhatikanlah, tidak ada kekerasan hati yang lebih buruk di dunia ini selain
daripada orang yang memperlakukan istrinya dengan kasar dan kejam. Orang-orang
Yahudi ketika itu tampaknya terkenal buruk dalam hal ini, sehingga mereka
diperbolehkan menceraikan istri mereka. Lebih baik mereka menceraikan istri
mereka daripada mereka melakukan perbuatan yang lebih buruk. Lebih baik begitu,
daripada mezbah Tuhan tertutup oleh air mata (Mal.
2:13). Sedikit kelonggaran untuk menyenangkan hati orang yang kurang waras,
atau orang yang kehilangan akal, dapat mencegah celaka yang lebih besar. Hukum
positif dapat diberikan kelonggaran demi menjaga hukum alam, karena Allah menghendaki belas kasihan dan bukan persembahan. Akan
tetapi, dalam hal ini kelonggaran perlu diberikan, karena kita berurusan dengan
orang-orang yang berhati keras dan keji. Tidak ada orang yang menginginkan
kebebasan untuk bercerai, kecuali mereka yang hatinya benar-benar keras.
Perhatikanlah, Kristus berkata, "Karena ketegaran hatimu bukan
hanya hati mereka yang hidup pada masa tersebut, naun semua keturunan mereka.
Perhatikanlah, Allah tidak hanya melihat kekerasan hati manusia pada saat
tertentu, namun melihat jauh ke depan. Ia menyesuaikan hukum-hukum dan
pemeliharaan-Nya dalam masa Perjanjian Lama dengan perangai orang-orang pada
saat itu, dengan menggunakan hal-hal yang mengancam dan menakutkan mereka. Perhatikanlah
lebih jauh, hukum Musa mempertimbangkan kekerasan hati manusia, tetapi Injil
Kristus menyembuhkannya, dan anugerah-Nya menjauhkan
hati yang keras dan memberikan hati yang taat. Melalui hukum, ada
pengetahuan tentang dosa, tetapi melalui Injil ada penaklukan terhadap dosa.
■ Yesus mengarahkan
perhatian mereka kepada hukum yang mula-mula, bahwa sejak
semula tidaklah demikian. Perhatikanlah, kecemaran-kecemaran yang
menjalar ke dalam setiap hukum Allah harus disingkirkan dengan mengacu kepada hukum
yang ditetapkan mula-mula. Jika ada salinan yang menyesatkan, hal tersebut
harus diteliti dan diperbaiki melalui salinan yang asli. Oleh karena itu, saat
Rasul Paulus meredakan perselisihan jemaat Korintus mengenai perjamuan Tuhan,
ia merujuk kepada penetapan perjamuan itu (1Kor. 11:23), Beginilah yang telah aku terima dari Tuhan.Kebenaran telah ada sejak
mula-mula, sehingga kita harus mencari jawaban dari jalan-jalan
yang dahulu kala (Yer. 6:16). Kita harus benar-benar berubah
seluruhnya, bukan dengan mengikuti pola-pola yang ada kemudian, tetapi melalui
aturan-aturan yang mula-mula.
■ Kristus menyelesaikan
masalah tersebut dengan memberikan hukum yang langsung keluar dari
mulut-Nya, "Aku berkata kepadamu" (ay.
9). Hal ini sesuai dengan apa yang telah dikatakan-Nya sebelumnya (5:32).
Sebelumnya hukum ini disampaikan-Nya ketika Ia berkhotbah, tetapi di sini,
ketika Ia sedang berselisih pendapat dengan mereka. Akan tetapi, apa yang
disampaikan-Nya itu tetap sama, karena Kristus sendiri tidak pernah berubah.
Nah, apa yang
disampaikan dalam khotbah itu maupun dalam perselisihan ini:
(1) Ia memperbolehkan
perceraian jika terjadi perzinahan.
Dasar hukum yang
melarang perceraian adalah karena keduanya itu menjadi
satu daging. Jika sang istri melakukan persundalan dan menjadi satu
daging dengan seorang pezinah, maka dasar hukum tersebut tidak berlaku lagi.
Menurut hukum Musa, hukuman untuk perzinahan adalah hukuman mati (Ul. 22:22).
Akan tetapi, Juruselamat kita sekarang meringankan hukuman yang berat tersebut,
dan menjadikan perceraian sebagai hukumannya. Menurut Dr. Whitby, yang
dimaksudkan di sini bukanlah perzinahan (karena Juruselamat kita menggunakan
kata porneia -- persundalan), melainkan
hubungan badan di luar nikah yang baru diketahui setelah perkawinan. Alasannya
adalah bahwa jika hubungan badan itu dilakukan setelah kawin, maka ini sudah
merupakan tindak kejahatan dengan hukuman mati, dan perceraian tidak diperlukan
lagi.
(2) Ia melarang
perceraian untuk semua alasan yang lain: Barangsiapa menceraikan
istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat
zinah. Ini adalah jawaban yang tegas terhadap pertanyaan mereka,
yaitu bahwa perceraian itu melanggar hukum. Dalam hal ini, seperti halnya dalam
hal-hal lainnya, masa Injil adalah masa pembaruan (Ibr. 9:10). Hukum Kristus
cenderung mengembalikan manusia ke dalam keutuhan atau integritasnya yang
mula-mula. Hukum cinta kasih, cinta kasih dalam perkawinan, bukanlah perintah
yang baru, tetapi sudah ada sejak mula-mula. Jika kita mempertimbangkan
akibat-akibat buruk yang ditimbulkan oleh perceraian yang dilakukan secara
semena-sema terhadap keluarga dan bangsa, serta kebingungan dan kekacauan yang
diakibatkannya, maka kita akan melihat betapa bermanfaatnya hukum Kristus ini bagi
kita, dan betapa bersahabatnya Kekristenan itu bagi kepentingan-kepentingan
duniawi kita.
Hukum Musa
memperbolehkan perceraian karena kekerasan hati manusia, sedangkan hukum
Kristus melarangnya. Hal ini menyiratkan bahwa karena orang-orang Kristen hidup
di bawah hukum kasih dan kemerdekaan, maka dari mereka diharapkan ada
kelembutan hati, dan jangan menjadi keras hati, seperti orang-orang
Yahudi, karena Allah memanggil kamu untuk hidup dalam
damai sejahtera. Perceraian tidak akan terjadi jika kita berlaku sabar terhadap satu dengan yang lain dan mengampuni satu
dengan yang lain dalam kasih,sebagaimana yang dirasakan oleh
orang-orang yang telah diampuni dan berharap untuk diampuni, dan yang menyadari
bahwa Allah tidak akan mengusir kita(Yes.
50:1). Perceraian tidak diperlukan jika suami mengasihi
istrinya dan istri taat kepada suaminya dan mereka hidup
bersama sebagai pewaris anugerah kehidupan. Inilah hukum-hukum Kristus yang
tidak kita temukan dalam semua hukum Musa.
V. Inilah pendapat
murid-murid Kristus yang tidak setuju dengan hukum-Nya ini (ay. 10), Jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik
jangan kawin. Kelihatannya murid-murid Kristus sendiri sangat
tidak rela melepaskan kebebasan dalam bercerai. Mereka menganggap bahwa perceraian
diperlukan untuk mempertahankan kenyamanan dalam kehidupan perkawinan, sehingga
mereka, layaknya anak-anak kecil yang merajuk, akan membuang apa yang mereka
miliki, jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Jika mereka
tidak diperbolehkan untuk menceraikan istri mereka sesuai dengan kehendak hati
mereka, maka mereka memilih untuk tidak beristri sama sekali; padahal pada
mulanya, ketika perceraian tidak diizinkan, Allah berfirman, "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja dan Ia
memberkati mereka. Ia menyebut mereka yang dipersatukan dengan
kukuh sebagai orang-orang yang diberkati. Meskipun begitu, murid-murid Kristus
menganggap bahwa lebih baik bagi mereka untuk tidak kawin jika mereka tidak
diberikan kebebasan untuk bercerai.
Perhatikanlah:
■ Sifat yang cemar tidak
rela untuk dikekang, dan dengan senang hati akan memutuskan ikatan yang
dipersatukan oleh Kristus, supaya memiliki kebebasan dalam memuaskan
nafsu-nafsunya.
■ Bagi manusia, bodohlah
kalau mau meninggalkan kenikmatan-kenikmatan hidup ini. Bagi mereka,
beban-beban salib hanyalah menghambat berbagai kenikmatan itu, membuat mereka
seakan seperti telah keluar dari dunia ini karena tidak bisa mendapatkan lagi
semua keinginan mereka di dunia ini. Mereka merasa harus masuk ke dalam suatu
panggilan atau keadaan yang tidak ada gunanya, dan harus taat di dalamnya.
Tidak! Apa pun keadaan
kita, kita harus peduli untuk memikirkannya, kita harus bersyukur atas berbagai
kenikmatannya, tunduk terhadap salibnya, dan seperti yang telah Allah
lakukan, hari malang ini pun dijadikan Allah seperti
juga hari mujur; jadikanlah yang terbaik dari apa yang ada (Pkh.
7:14). Jika kuk perkawinan tidak dapat disingkirkan sesuka hati kita, ini
tidaklah berarti bahwa oleh karena itu kita
harus menghindarinya. Sebaliknya, oleh karena itu,
bila kita memang berada di bawah kuk itu, kita harus berusaha untuk hidup
selaras dengan kuk itu, dengan cinta kasih, kelembutan hati, dan kesabaran,
supaya dengan demikian perceraian itu akan menjadi hal yang paling tidak
diperlukan dan paling tidak diinginkan lagi.
VI. Tanggapan Kristus
terhadap pendapat murid-murid itu (ay. 11-12):
■ Ia mengizinkan dan
menganggap baik adanya bagi beberapa orang untuk tidak kawin, Siapa yang dapat mengerti, hendaklah ia mengerti. Kristus
memperbolehkan apa yang dikatakan oleh para murid, lebih
baik jangan kawin, bukan sebagai keberatan terhadap larangan
perceraian, seperti yang dimaksudkan oleh murid-murid-Nya, melainkan untuk
memberikan mereka aturan (yang mungkin masih saja membuat mereka kesal), bahwa
mereka yang dikaruniai kemampuan untuk mengekang nafsu berahi dan merasa tidak
perlu kawin, baiklah jika mereka tetap lajang (1Kor. 7:1). Alasannya adalah
bahwa mereka yang tidak kawin mempunyai kesempatan, jika hatinya memang
demikian, untuk lebih peduli terhadap perkara Tuhan,
bagaimana Tuhan berkenan kepadanya (1Kor. 7:32-34). Mereka
lebih tidak dipusingkan oleh kekhawatiran-kekhawatiran hidup, dan lebih dapat
memusatkan perhatian dan waktu pada hal-hal yang lebih penting. Bertambahnya
anugerah lebih baik daripada bertambahnya jumlah anggota keluarga, dan
persaudaraan dengan Bapa dan Anak-Nya Yesus Kristus harus lebih diutamakan
dibandingkan ikatan-ikatan persaudaraan lain.
■ Ia tidak membenarkan
larangan untuk kawin dan memandangnya sebagai hal yang benar-benar membawa
celaka, karena tidak semua orang dapat mengerti
perkataan itu. Hanya sedikit orang yang benar-benar mampu untuk
tidak terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, beban salib dari kehidupan
perkawinan harus dipikul, karena lebih baik begini daripada manusia jatuh ke
dalam percobaan. Lebih baik kawin dari pada hangus
karena hawa nafsu.
Kristus di sini
berbicara mengenai dua keadaan yang menyebabkan orang tidak pantas untuk kawin.
(1) Mereka yang, di
bawah pemeliharaan Tuhan, menderita, karena dilahirkan dengan keadaan tidak
mampu kawin, atau dijadikan demikian oleh orang lain. Mereka yang terpaksa
tidak kawin karena tidak mampu memenuhi tujuan yang agung dari perkawinan.
Meskipun demikian, dalam kemalangan ini, biarlah mereka melihat kesempatan
bahwa dengan hidup melajang pun orang dapat melayani Allah dengan lebih baik,
supaya dengan begitu mereka dapat mengimbangi keadaan mereka.
(2) Mereka yang
melakukannya oleh karena anugerah dari Tuhan, yaitu mereka yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Sorga. Yang dimaksudkan di sini adalah ketidaklayakan untuk
kawin bukan karena faktor jasmaniah (seperti kebodohan dan kejahatan yang
dilakukan oleh beberapa orang terhadap dirinya sendiri karena kesalahan
penafsiran Alkitab), melainkan karena masalah batiniah. Mereka yang dalam
kekudusan mampu menampik segala kenikmatan kehidupan perkawinan, mereka yang
telah membulatkan keputusan mereka dengan kuasa anugerah Tuhan untuk
benar-benar menjauhinya, dan yang melalui puasa dan bentuk-bentuk mematikan
keinginan daging lainnya telah menekan segala hawa nafsu berkenaan dengan hal
tersebut, mereka inilah yang dapat mengerti perkataan
itu. Meskipun demikian, semua ini tidak mengikat diri mereka sendiri
seperti sumpah bahwa mereka tidak akan pernah kawin. Hanya saja, dalam
pemikiran mereka sekarang, mereka berniat untuk tidak kawin.
Oleh karena itu:
[1] Keinginan untuk hidup melajang pastilah dikaruniakan
dari Allah, karena tidak ada orang yang mampu menerimanya, hanya
mereka yang dikaruniai saja. Perhatikanlah, kemampuan untuk menahan
diri dari keinginan-keinginan badaniah merupakan karunia khusus dari Allah
untuk sebagian orang saja, dan tidak kepada yang lain. Ketika seseorang yang
dalam hidup melajangnya menyadari sendiri bahwa ia memiliki karunia ini, maka
(seperti yang dikatakan Rasul Paulus dalam 1Kor. 7:37), baiklah ia berteguh
hati untuk tidak kawin, dan tetap menguasai keinginan hatinya untuk tetap hidup
demikian. Dalam masalah ini, baiklah kita berhati-hati, jangan sampai kita
menyombongkan karunia yang tidak ada dalam diri kita (Ams. 25:14).
[2] Keadaan hidup
melajang hendaknya dipilih demi kepentingan Kerajaan Sorga. Mereka yang memutuskan
untuk tidak kawin, hanya agar mereka dapat menghindari tuduhan-tuduhan, atau
demi memuaskan kehendak mereka sendiri yang mementingkan diri sendiri, atau
supaya mereka mendapat kebebasan lebih besar untuk memuaskan nafsu-nafsu dan
kenikmatan-kenikmatan lain, jauh dari bertindak bijaksana. Mereka telah
melakukan kekejian. Akan tetapi, jika hal tersebut dilakukan demi agama, bukan
sekadar upaya mencari pujian (seperti yang dilakukan oleh sebagian pemimpin
gereja), melainkan hanya sebagai cara untuk lebih memusatkan pikiran dan niat
kita dalam melaksanakan pelayanan-pelayanan keagamaan, dan karena kita tidak
memiliki keluarga yang harus dinafkahi, sehingga kita dapat melakukan lebih
banyak perbuatan kasih, maka hal ini akan dibenarkan dan diterima oleh Allah.
Perhatikanlah, ambillah pilihan yang terbaik bagi jiwa kita, yang menyiapkan
kita dan mengarahkan kita untuk mencapai Kerajaan Sorga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar