Halaman

Minggu, 30 September 2018

Beriman dan Berilmu "Spiritualitas Mahasiswa Teologi"

LAPORAN BACA 
Oleh Jonathan J. Sumangkut

INFORMASI BUKU
Mata kuliah             : Penulisan Karya Ilmiah       
Dosen                      : Dorkas Retjelina, M.Th
Judul buku              : Beriman dan Berilmu “Spiritualitas mahasiswa teologi”
Pengarang               : David Cupples
Penerbit                   : PT BPK Gunung Mulia
Kota terbit               : Jakarta, cetakan 4 tahun 2001
Tebal buku              : 84 halaman, 18 cm


PENGANTAR
Buku ini menjadi begitu penting, bukan hanya karena menjelaskan apa yang dialami dan dirasakan oleh mahasiswa teologi secara umum, tetapi juga sekaligus menawarkan kemungkinan-kemungkinan untuk mengatasinya.
Banyak mahasiswa Teologi goyah imannya, ketika duduk dibangku kuliah pada tahun-tahun pertama. Pilar-pilar iman yang sudah dibangun sejak sekolah minggu mulai diragukan “kebenaranya”. Fokus sebelumnya, mahasiswa memulai studi untuk memperkaya imannya, karena pokok pelajaran setiap hari mencakup topik-topik, yang semestinya menjadi makanan rohani serta memperkuat iman. Kini berubah fokus karena kepercayaan mereka akan kebenaran ajaran dan isi Alkitab ditantang baik oleh para dosen maupun dalam buku-buku yang harus dibaca. Fokus spiritualitas pribadi dengan Tuhan kini berubah menjadi fokus akademis.
Dahulu mahasiswa berusaha mengenal Allah melalui mendengar dan menaati firman-Nya sebagaimana tertulis didalam Kitab Suci. Tetapi sekarang seribu satu pertanyaan muncul dan seribu satu tafsiran mengacaukan arti. Dengan demikian sebagian mahasiswa beranggapan bahwa Alkitab tidak dapat lagi dipercaya atau dimengerti. Dahulu Kitab Suci yang menilai kita, tetapi sekarang sebaliknya: kita yang menilai Kitab Suci!
Untuk orang Kristen muda, keterbalikan itu seakan-akan menghilangkan haluan hidup dan menggoncangkan jiwanya. Orang-orang Kristen menghadapi suatu tantangan untuk mengganti iman yang dimiliki sawaktu bersekolah minggu – tetapi dengan apa? Dengan iman yang dewasa, dengan ketidakpastian, atau dengan melepaskan imannya sama sekali?

ISI BUKU
Dari satu segi, tantangan ini merupakan kesulitan bagi mahasiswa, tetapi dari segi lain merupakan suatu kesempatan. Pertumbuhan iman seseorang sebenarnya hanya dapat terjadi dengan adanya pertanyaan, penyelidikan diri dan keterbukaan terhadap serangan-serangan atas pendiriannya. Apabila seorang mahasiswa menghadapi tantangan ini secara terbuka dan jujur, dengan tetap percaya kapada Tuhan, maka iman mahasiswa tersebut dapat dibangun berdasarkan fondasi yang benar-benar kuat.


Beberapa cara yang salah atau tidak memuaskan yang sering dipakai oleh mahasiswa untuk menghadapi masalah-masalah diatas:
1. Sikap tunduk
Sebagian mahasiswa tunduk saja pada pandangan-pandangan radikal. Akibatnya, mereka meninggalkan kepercayaan semula, atau mengubahnya sehingga menjadi sesuatu yang lain sama sekali. Seorang mahasiswa yang masih memiliki iman tingkat sekolah minggu, yang tidak diperlengkapi dengan fondasi dan kerangka yang kuat, iman itu mudah diruntuhkan oleh pertanyaan-pertanyaan tingkat sekolah tinggi. Pertanyaan-pertanyaan yang dihadapi jauh melampaui kesanggupan mahasiswa tersebut. Jalan keluar yang paling mudah dari beban ketegangan yang tak tertahan ini ialah mengaku “tamat” dari iman semula. Dengan kata lain mahasiswa tunduk pada pandangan radikal, yang mengemukakan pertanyaan-pertanyaan terlalu tajam rasanya tidak ada kemungkinan lain.
2. Represi
Adalah sikap tidak mengindahkan pertanyaan tak terjawab yang timbul dalam benak pikiran seseorang. Seorang mahasiswa lebih mengelak dari pada berusaha memadukan iman dan ilmu. Menghindari atau menekan pertanyaan-pertanyaan seperti itu disebut “represi”. Seorang calon pendeta atau guru agama Kristen mempersiapkan diri menjadi pengajar Firman Tuhan dan gembala. Bagaimana seorang mahasiswa dapat memanggil orang lain untuk berpikir secara kristiani kalau mahasiswa tersebut tidak berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di hadapi?
            3. Pemisahan
Cara lain menghadapi tantangan studi teologi ialah “pemisahan”, yakni bersikap dualistis. Misalnya, seseorang mengatakan “Allah itu bukan pribadi serta Yesus bukan ilahi dan bukan Juruselamat dunia satu-satunya”. Orang tersebut mengartikan paham itu sebagai pandangan yang hanya berlaku diruang kuliah, dibidang akademis saja. Secara pribadi dan didalam persekutuan Kristen paham itu tidak diterima, Iman orang itu sesuai dengan keyakinan Kristen traditional. Jelasnya “pemisahan” adalah saat seorang mahasiswa sama sekali tidak melihat adanya hubungan antara studi dan imannya. Apapun hasil yang dia dapatkan dikuliah tidak akan mempengaruhi imannya.

            Tiga cara menghadapi tantangan studi teologi telah dibahas diatas, yakni: sikap tunduk, represi dan pemisahan. Semuanya ternyata kurang memadai dan harus ditolak. Dalam buku ini penulis mengemukakan suatu cara yang lebih baik, yakni pemaduan atau integrasi antara iman dan ilmu. Cara ini mengusahakan pemaduan antara pendekatan kepada kitab suci yang akademis dan pendekatan kitab suci yang rohani.
            Secara umum dapat dikatakan bahwa pendekatan akademis terutama menekankan perluasan pengetahuan dengan pembaruan pemikiran. Sedangkan pendekatan rohani menekankan pemeliharaan dan pembaruan persekutuan manusia, dengan Allah yang seharusnya dialami setiap hari. Kedua pendekatan itu menuntut agar mahasiswa berilmu dan beriman, agar supaya para mahasiswa dapat mengartikan Firman kebenaran serta memberi respons terhadap firman itu sebagai firman Allah dengan tepat. Baik pembaruan pikiran maupun perubahan hidup dihasilkan oleh pekerjaan Roh Kudus didalam kehidupan kita.
            Hal penting dalam pendekatan akademis adalah bagaimna cara mempelajari Alkitab. Ada beberapa factor yang mempengaruhi pendekatan mana yang dipakai, serta apa tujuan dan manfaat yang ingin dicapai. Factor tempat, pemilihan nats, jenis penelitian dan cara penerapan. Sama seperti berita Alkitab mempunyai banyak segi, demikian juga kehidupan kita sehari-hari dan hubungan kita dengan Allah. Kedua hal ini perlu mahasiswa ketahui secara pribadi agar supaya tidak mempengaruhi hasil dari pendekatan akademis.
            Hal penting dari pendekatan rohani ialah ibadah pribadi yang dijalankan setiap hari. Kesempatan mempelajari agama sepanjang hari – Alkitab, dogmatika, sejarah gereja dan sebagainya – tidak berarti mahasiswa tidak lagi memiliki kebutuhan rohani yang sama dengan orang Kristen lain. Cara bertumbuh dalam iman adalah sama bagi tiap-tiap orang Kristen. Baik yang mempelajari teologi bahkan lebih membutuhkan persekutuan dengan Allah, agar pelajaran tersebut tidak menjadikan mahasiswa jemu terhadap Allah dan hal-hal Ilahi.
Spritualitas membuat mahasiswa menjadi teolog yang lebih baik. Peribadahan pribadi yang sungguh-sungguh akan mendukung mahasiswa dalam berteologi, sebab ketaatan merupakan jalan menuju pemahaman yang lebih mendalam. Hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan tidaklah sepenuhnya dapat diterima dan dimengerti dengan sikap yang objektif saja, tetapi juga melalui hidup dan pengalaman.

KOMENTAR
            Iman tidak akan membuat mahasiswa menjadi ilmuan yang lebih cakap; mahasiswa tidak akan lulus ujian hanya karena iman. Tetapi iman itu memang memberikan mahasiswa pengenalan akan Allah dan itu berarti hidup yang kekal. Harap dicatat, yang dimaksudkan disini bukanlah hendak memburuk-burukan studi atau ilmu pengetahuan. Tetapi yang hendak dikatakan adalah, studi dan ilmu pengetahuan tidak ada artinya bila pemilik ilmu itu tidak berada dijalur Tuhan. Seperti pernah dikatakana Paulus (1 korintus 13:2), sekalipun aku … mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan … tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Paulus melihat masa lalu dirinya dengan segala pengetahuan tentang hukum taurat dan tradisi yahudi, namun paulus mengatakan: “segala sesuatu kuanggap rugi,karna pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku lebih mulia dari pada semuanya” (filipi 3:8).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar