Halaman

Minggu, 30 September 2018

IMAN DAN KEBUDAYAAN

TUGAS BAHASA INDONESIA
ULASAN BUKU

Oleh Jonatahan J Sumangkut

A. PENDAHULUAN
Judul                                       : Iman dan Kebudayaan
Pengarang                               : Dr. Th. Kobong
Penerbit                                   : PT BPK Gunung Mulia
Kota terbit                               : Jakarta, cetakan 2 tahun 1997
Tebal buku                              : viii, 75 halaman, 20 cm

SYNOPSIS
Buku ini membahas hubungan antara Iman dan Budaya yang menjadi masalah yang tidak ada habis-habisnya. Apakah budaya yang kita pegang bersifat kristiani? Mana yang budaya dan mana yang Kristen? Apakah ada yang namanya kebudayaan Kristen? Untuk menjawab masalah ini penulis menyusun 10 bahan pemahaman alkitab tentang nisbah antara iman dan budaya untuk menolong pembaca menemukan dan mendengarkan firman Allah sebagi kaidah dalam kehidupan berbudaya

INFORMASI PENULIS
Dr Th. Kobong adalah dosen Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Penulis menempuh program Doctor di belanda dan jerman dengan membuat penelitian dan disertasi tentang nisbah injil dan budaya. Penulis sudah menggumuli masalah ini sejak menjadi pendeta di toraja dan dosen di ujung pandang



PENGANTAR
Pada bagian pengantar penulis mengawali dengan pengertian tentang iman, kebudayaan, agama serta hubungannya dengan kekristenan saat ini. Berikut kesimpulan penulis tentang hal-hal tersebut:
1.      Iman adalah relasi antara manusia dengan kuasa diluar kenyataan hidupnya,yang disegani, ditakuti dan oleh karena itu, disembah. Iman sebagai relasi yang lebih berdimensi vertical, dihayati dan diamalkan dalam dimensi horizontal.
2.      Agama Cara dan bentuk-bentuk penyembahan yang disistematisasi dalam kerangka ajaran-ajaran yang diturunkan melalui tradisi atau yang “diwahyukan” kepada manusia.
3.      Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok. Jadi kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau komunitas. Kebudayaan lebih berdimensi horizontal, namun kebudayaan tidak biasa dilepaskan dari dimensi vertical.
4.      Hubungan ketiganya serta harapan penerapan dalam pola hidup Kristen.
a.      Iman dapat diinterpretasikan sebagai sumber dan dasar kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sering diidentikkan dengan agama yang berdimensi vertical.
b.      Kesetiaan dan ketaatan umat Allah diukur dari pola hidupnya, sampai dimana umat Allah sebagai suatu persekutuan mempunyai pola hidup tersendiri dan dapat mengamalkan pola hidup itu.
c.       Secara teologis (teoritis) kita harus menjawab bahwa “kebudayaan Kristen” itu ada. Sama halnya dengan kerajaan Allah. Yesus berkata: “Sesungguhnya Kerajaan Allah itu ada diantara kamu.” Jadi kebudayaan Kristen itu ada diantara kamu.
d.      Proklamasi dan penampakan Kerajaan Allah adalah misi umat Allah. Pengalaman kehidupan Kristen menurut kebudayaan Kerajaan Allah adalah misi umat Allah.
e.       Jadi jawaban atas pertanyaan apakah kebudayaan Kristen itu ada ialah: ya dan tidak, sudah ada dan masih akan terwujudkan. Itulah masalah yang tidak habis-habisnya.

Penulis ingin setiap orang Kristen sadar bahwa tidak bisa memberitakan injil di luar kebudayaan, dengan demikian mereka tidak bisa hidup di luar kebudayaan. Tugas kita ialah menjadi garam dan terang di dalam kebudayaan.

B. LAPORAN BAGIAN BUKU
Bab 1. MANUSIA SEBAGAI GAMBAR Allah mazmur 8
Pada bab ini penulis menjelaskan tujuan mazmur 8, seperti halnya dengan kejadian 1:26-27, tidak menyinggung soal dosa. Penulis lewat kitab ini mau mengingatkan manusia sebagai gambar Allah yang diciptakan untuk kehidupan yang memuliakan Allah. Manusia adalah pemegang peran utama dalam pementasan kemuliaan Allah itu, karena manusia tidak hanya diberi kuasa mengolah, menguasai, memerintah, memelihara pentas itu, melaikan juga harus memberi isi kepada pementas kemuliaan Allah dalam hubungan dengan tanggung jawab ganda, hubungan dengan Allah (vertical) dan hubungan dengan ciptaan lainnya, manusia dan lingkungannya, alamnya (horizontal)




Bab 2. TITIK TEMU kisah para rasul 17:16-34
Dalam ilmu teologi masalah titik temu berkisar pada dua hal, yaitu :
1.      Adakah sesuatu di dalam diri manusia yang peka terhadap Penyataan Allah? Adakah sesuatu di dalam manusia yang sanggup menerima dan mengerti penyataan Allah? Adakah kemampuan pada diri manusia untuk mengembangkan suatu kehidupan yang sesuai dengan Penyataan Allah? Dengan pertanyaan yang terakhir ini muncullah yang kedua.
2.      Adakah titik temu antara Penyataan Allah dengan agama-agama? Dengan kebudayaan-kebudayaan? Karna setiap agama mengklaim bahwa dialah agama yang benar. Ada pendapat bahwa di dalam setiap agama ada kebenaran, atau paling tidak setiap agama mempunyai unsur-unsur kebenaran.
Lewat kisah para rasul 17:16-34, penulis menyimpulkan titik temu yang paling dasariah, ialah kasih Allah itu sendiri, kasih yang mencari dan kasih yang menemukan. Pada manusia ada kesadaran akan adanya kuasa di luar dirinya yang berada di atas dia, berada di luar jangkaunnya. Kuasa itu disegani, ditakuti, disembah. Kesadaran itu membuat manusia mencari Allah tetapi yang ditemukan ialah ilah-ilah (roma 1). Allah yang dicari itu barulah ditemukannya di dalam Yesus Kristus justru datang menemui manusia yang mencari itu. Jadi kasih Allah merupakan titik temu, karena Allah menyatakan diri-Nya untuk manusia yang mencari. Itu titik temu dari pihak Allah




Bab 3. KEBUDAYAAN SEBAGAI JATI DIRI kisah para rasul 2:41-47; 4:32-37
Kesimpulan dari bab ini ialah bahwa setiap kebudayaan adalah hasil pengembangan pola hidup dari suatu kelompok atau persekutuan manusia. Setiap kebudayaan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dijabarkan kedalam cara hidup dan adat-istiadat yang pada gilirannya mempunyai ciri-ciri khas. Ciri khas inilah yang merupakan jati diri kebudayaan itu yang menurun kepada anggota-anggota persekutuan yang bersangkutan. Jemaat pertama adalah orang-orang yahudi, jadi mereka sebagai anggota kaum/masyarakat yahudi tetap berada di dalam kebudayaan yahudi, termasuk pola beragama. Namun orientasi mereka bukan lagi adat istiadat yahudi, melainkan Yesus kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka

Bab 4. KONTEKSTUALISASI kejadian 1 – 2:4a; 2:4b-25; yoh 1:1-12
Pada bab ini penulis membahas tentang, apa itu kontektualisasi? Kontekstualisasi merupakan usaha untuk memahami dan menghayati suatu berita yang didengar dengan cara merasa, berpikir dan bertindak yang dibentuk dan ditentukan oleh adat istiadat dan kebudayaan yang ada, lalu dituangkan ke dalam bentuk-bentuk yang dapat dipahami dan dihayati. Kontekstualisasi berlangsung dalam satu pergumulan rangkap, bergumul dengan firman Allah (teks) dan dengan kebudayaan (konteks).
Salah satu contoh kontekstualisasi yang salah adalah perayaan natal dari orang-orang yang pada hakikatnya tidak menerima dan tidak hidup dari injil, kini juga sudah ikut menyemarakkan Natal. Itu tentu dengan motivasi yang berbeda-beda. Mungkin karna pesta-poranya belaka, ada karena motif-motif dagang. Perayaan natal disesuaikan dengan selera manusia, sehinggga natal kehilangan Injil. Itu jelas satu proses “kontekstualisasi” yang tidak dimaksudkan.
Kontekstualisasi yang benar ialah apabila injil yang diberitakan pada peristiwa natal, dimengerti, dihayati dan dilakukan dalam bentuk-bentuk yang dipahami, agar injil itu semakin berakar di dalam konteks kita. Kalau kebenaran semakin kabur, maka kontekstualisasi pun semakin salah. Dan saat itu terjadi bagaimana cara kita mengetahuinya? Hanya ada satu jawaban: “Roh kudus yang akan membimbing orang percaya dan umat Tuhan, Gereja, untuk memahami injil dalam roh kudus dan kebenaran.

Bab 5. TRANSFORMASI KEBUDAYAAN Ilustrasi PL: 1 samuel 8:1-22; 10:27; 12
Tranformasi kebudayaan adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan ke tingkat kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia yang terus-menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan Allah.
Transformasi kebudayaan di dalam PL, Israel sebagai bangsa telah mengalami suatu tranformasi kebudayaan, yaitu dari kebudayaan bangsa pengembara ke kebudayaan bangsa menetap. Kita telah mendefinisikan kebudayaan; transformasi kebudayaan. Maka dalam ilustrasi PL di atas dapat disoroti tiga bidang kehidupan yang dapat memperjelas apa yang dimaksudkan dengan transformasi kebudayan itu.
1.      Transformasi di bidang pertanian
2.      Transformasi di bidang teknik social
3.      Tranformasi di bidang sosio-agamawi
Ketiga Transformasi kebudayaan di atas di jalankan sesuai dengan Firman Allah
Bab 6. TRANSFORMASI KEBUDAYAAN Ilustrasi 1 PB: 1 korintus 11:2-16
          Di bab ini penulis memberi contoh bagaimana kebudayaan sangat mempengaruhi penginjilan. Dalam pembacaan Alkitab di atas terlihat bahwa pola hidup (kebudayaan) jemaat sejak dulu dibangun berdasarkan pandangan tentang manusia (antropologi) yang menempatkan manusia tidak selalu pada tempat yang sama, sederajat. Manusia yang tidak sederajat itu membuat struktur-struktur pola hidup berdasarkan kekuasaan dan kepentingan. Jadi pola hidup manusia bukan lagi sesuai dengan yang di kehendaki Allah (pola hidup firdaus), melainkan yang menentukan adalah manusia sendiri. Maka terjadilah bermacam-macam pola hidup yang tidak jarang bertentangan dengan kehendak Allah dan bahkan bersifat diabolis (satanis)
            Ketengah-tengah kebudayaan demikianlah injil Yesus Kristus datang. Firman Allah telah menjadi daging, telah mamasuki kehidupan manusia. Injil memasuki kehidupan manusia berarti injil berjumpa dengan kebudayaan. Injil itu mambawa nilai-nilai baru, yang mengungkapkan diri dalam bentuk-bentuk kebudayaan setempat. Terjadilah perubahan nilai, perubahan sikap, perubahan bentuk budaya yang diperbaharui. Itulah yang kita sebut transformasi kearah kebudayaan yang semakin sesuai dengan kehendak Allah. Injil dan kebudayaan berinteraksi dalam bentuk dialetik yang membawa kepada pembaruan, yaitu transformasi.







BAB 7. TRANFORMASI KEBUDAYAAN Ilustrasi 2 PB: Surat kepada filemon
          Penulis berharap lewat bab ini, pembaca kembali menatap dirinya, cara hidupnya, pribadi maupun persekutuan (keluarga atau jemaat) untuk menyadari bahwa mereka masih jauh dari kehidupan kerajaan Allah, yang kita yakini sudah berlaku kini dan yang akan disempurnakan nanti, kita berada terus-menerus dalam proses transformasi.
          Dalam bab ini penulis menjawab dua pertanyaan penting yang sering muncul dalam dunia teologi yang diambil dalam kisah pelayan Paulus lewat suratnya kepada filemon. Apakah Paulus konservatif? Ataukah dia seorang revolusioner?
            Paulus bukan seorang konservatif atau pun seorang revolisioner; Paulus bahkan jauh dari itu. Tetapi sebaliknya Paulus juga tidak mempunyai suatu program mengubah struktur masyarakat, baik melalui evolusi maupun revolusi. Bukan karena Paulus tidak mau, tidak sanggup atau tidak ada waktu untuk melakukan itu, melainkan karena secara prinsip segala macam struktur yang menindas, sudah secara otomatis sudah tidak berlaku lagi di dalam Kristus, karena kasih Kristus sudah menjungkirbalikkan semuanya itu. Namun tidak salah bahwa teologi Paulus yang begitu yakin akan kedatangan Kristus kembali, membuatnya tidak menyusun suatu program kemasyarakatan sebagai pengalaman imannya. Masing-masing hendaknya hidup atas dasar kasih di dalam Kristus, sambil menantikan kepenuhan hidup di dalam Kristus.





BAB 8. KEFASIKAN DAN KELALIMAN Roma 1: 18-32
            Dalam bab 1 berisikan tentang bagaimana pembaca melihat manusia dalam hubungan tanggung jawabnya kepada Allah dan makhluk ciptaan Allah lainya. Dalam bab 8 ini pembaca diberi pandangan dari sisi berbeda, yaitu manusia sebagai pemberontak terhadap Allah; manusia yang tidak mau menerima kedudukannya sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada Allah. Mzm. 14 dan 53 sangat berlawanan dengan Mzm. 8. Manusia tidak lagi mengenal Allah, bahkan manusia menyangkal adanya Allah, sehingga tidak ada lagi alamat ke mana manusia harus bertanggung jawab, kecuali kepada manusia itu sendiri. Manusia mulai mengembangkan pola hidup dan kebudayaan sendiri. Itulah akibat dari keinginan manusia menjadi sama dengan Allah. Manusia tidak lagi mengenal Allah, mencari Allah pun tidak. Akibat dari semuanya itu ialah bahwa tidak ada lagi yang berbuat baik, seorang pun tidak. Keadaan manusia di sini bukan lagi manusia sebagai gambar Allah, melainkan gambar hitam pekat, semuanya telah bejat.
            Kesimpulan yang logis ialah bahwa manusia bejat juga akan mengembangkan pola hidup kebudayaan yang bejat. Manusia pemberontak pasti akan mengembangkan pola hidup yang melawan pola hidup yang dikehandaki Allah.

BAB 9. ROH ZAMAN Amos 7:10-17
          Dalam bab ini penulis ingin mengingatkan tentang pengaruh perubahan zaman pada manusia sangat kuat merubah kebiasaan baik seseorang menjadi tidak baik. Roh zaman menghinggapi dan menguasai manusia. Manusia pintar berteori namun prakteknya kehidupan jauh dari teori yang manusia itu anut. Kalau manusia dikuasai oleh roh zaman, maka bisa saja manusia menyerah kepada nasib. Namun kesimpulan pengkhotbah adalah:“ Akhir kata dari segala yang didengar adalah: takut akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban satiap orang. Karena Allah membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (Pkh. 12:13-14). Jadi manusia tidak boleh menyerah dengan nasib atau kepada roh zaman.

BAB 10. PEMBANGUNAN MENARA BABEL BERJALAN TERUS Kejadian 11:1-9
            Dalam bab ini penulis ingin menyampaikan bahwa, Menara Babel yang dalam konotasi traditional ialah pemberontakan terhadap Allah dan itulah dosa. Dimana umat manusia sadar akan dirinya, bahwa manusia sanggup membangun menara sampai ke langit untuk mencapai tempat yang tinggi dan menyamakan diri dengan Allah. Menara babel yang kemudian menjadi manifestasi keangkuhan umat manusia dalam kehebatannya mewujudkan keinginannya untuk menyaingi Allah, dapat dilihat dari sudut pandang positif tidak hanya negatif-traditional yaitu sebagai lambang usaha manusia menandingi, dan bahkan manggantikan Allah, yang gejala-gejalanya nampak pula dalam pengembangan Iptek who is playing God, tetapi membangun “menara babel” bisa juga kita kaitkan secara positif dangan tugas kebudayaan manusia untuk mempunyai titik orientasi dalam kebersamaan dan dalam hubungan dengan sang pencipta. Itulah ungkapan iman. karena iman tidak lain ialah relasi. Relasi dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan seluruh ciptaan.
         


KESAN DAN PESAN
Buku ini kembali mengingatkan manusia sebagai gambar Allah yang dicipta untuk kehidupan yang memuliakan Allah. Manusia sebagai gambar Allah dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Manusia dibuat berkuasa atas seluruh ciptaan Allah. Jadi segala kegiatan manusia termasuk pola hidupnya seharusnya memuliakan Allah.


Tetapi gambar Allah sudah dirusak oleh dosa. Namun manusia tetaplah manusia, dosa tidak serta merta membuat manusia menjadi mahkluk tidak berakal budi seperti hewan. Manusia tetap mempunyai kesanggupan untuk mendesain pola hidupnya, mengembangkan kebudayaannya. Kebudayaan yang menampakan kerajaan Allah, yang sesuai dengan hidup yang dikehendaki Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar