Halaman

Minggu, 30 September 2018

Bercerai Boleh atau Tidak


LAPORAN BACA
Oleh Jonathan J Sumangkut


Mata kuliah                 : Penulisan Karya Ilmiah
Dosen                          : Dorkas Retjelina, M.Th
Judul Buku                  : Bercerai Boleh atau Tidak
Penggarang                 : Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross
Terbitan                       : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 10420
Tebal buku                  : 200 halaman
Saya secara pribadi memiliki dua pertanyaan penting masalah perceraian:
1. Apakah boleh bercerai?
Berbicara mengenai perceraian penulis buku tersebut mengatakan bahwa perceraian dapat diperbolehkan dalam suatu pernikahan termasuk pernikahan Kristen, paling sedikit apabila terjadi
kekerasan. Seorang yang memilih jalan perceraian mungkin diakibatakan oleh penderitaan yang tak dapat ia tanggung lagi. Pernikahan yang berkonflik secara terus menerus sehingga pada akhirnya ikatan menjadi putus, tidak dapat disembuhkan dengan hanya mengulang-ulang larangan cerai. Berhenti mempertahankan pernikahan justru dapat menjadi jalan keluar.
Menurut Prof. G.R Dunstan yang dikutip oleh Atkinson, bahwa baik perjanjian Allah maupun perkawinan manusia mengandung 1) suatu prakarsa kasih, yang mengundang respons, dan dengan demikian menciptakan suatu sambung rasa, 2) Sumpah kesepakatan, yang melindungi kesatuan itu terhadap ketidaklanggengan perasaan, 3) Kewajiaban-kewajiban kesetiaan, 4) Janji pemberkatan bagi mereka yang setia pada ketetapan-ketetapan perjanjian itu, dan 5) Pengorbanan, kerelaan untuk pasrah terhadap kematian, khususnya kematian dari ego kita yang lama, yang hanya tahu mengutamakan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian Atkinson menyimpulkan bahwa perkawinan bukanlah status melainkan lebih merupakan komitmen moral yang harus dijungjung tinggi atau suatu perjanjian yang tidak bisa “rusak” begitu saja.
Pandangan Alkitab menurut Eka Damaputera. Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8). berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang terjadi pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai. Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan, yaitu terjadi hubungan seksual di luar pernikahan. Menurut (Robert Borrong:2006), dalam kesimpulan bukunya mengatakan, bercerai atau tidaknya antara suami dan istri, tergantung bagaimana sikap yang paling tepat dari keluarga tersebut dalam menghadapi persoalan suami-istri.
Justru pendapat Robert Borrong, Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross bertentangan dengan aturan yang ada di dalam Gereja HKBP, Gereja tidak mengizinkan adanya perceraian dikarenakan aturan Gereja suku tersebut, dipengaruhi oleh ajaran Alkitab dan kultur/kebudayaan batak itu sendiri oleh sebab itu menganggap bahwa perceraian sesuatu yang ‘pantang’, jikalau Gereja HKBP itu memberikan izin untuk bercerai kalau terjadi perzinahan.Nilai-nilai positif yang terkandung di dalam adat istiadat batak, misalnya: laki-laki tidak diperbolehkan menceraikan isterinya dan tidak boleh berzinah. Mereka sudah mengenal hal tersebut, sebelum datangnya ajaran kekristenan ke tanah Batak. Saya lebih setuju pandangan yang dikemukakan oleh Prof. G.R Dunstan, Eka Damaputera, dan aturan Gereja HKBP, yang memiliki pandangan kembali kepada kepada ajaran Alkitab yang mengatakan bahwa perceraian dapat dilakukan jika terjadi perzinahan.
2. Apakah boleh menikah lagi?
                  Pemberitaan “Yesus” dalam nas Markus 10:10-12 berbeda dengan kebiasaan dalam sebagian besar umat yahudi pada abad pertama Masehi. Ajaran-Nya mensyaratkan adanya perceraian atas inisiatif perempuan dan menegaskan kasetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal perceraian, perkawinan dan perzinahan. Yesus memberikan larangan yang sama kepada suami maupun istri, sehingga tampak bahwa pada bagian ini pandangan maupun pernyataan Yesus tidak berat sebelah. Yesus melarang perkawinan kembali baik atas prakarsa suami maupun prakarsa istri.





Komentar pribadi
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dikarenakan masanya ialah satu kali seumur hidup dan harus dilakukan dengan penuh dengan tanggung jawab. Terjadinya sebuah pernikahan akibat dari kedua insan tersebut yang saling berkomitmen akan hidup bersama baik suka maupun duka, akan tetapi sangat disayangkan untuk saat ini begitu gampangnya manusia mempermainkan arti sebuah pernikahan yang telah dipersatukan Allah, yang disebabkan oleh tindakan manusia yang kehendak bebasanya yang tidak terkontrol dengan baik, yang lupa dengan identitasnya sesungguhnya.
Pertanyaan yang diajukan kaum Farisi (Matius  19:3-12) adalah, Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Untuk alasan tertentu perceraian itu bisa saja diperbolehkan, terutama yang disebabkan oleh karena terjadinya hubungan badan di luar nikah. Tetapi masalahnya, apakah perceraian itu bisa diperbolehkan untuk alasan apa saja, seperti yang dewasa ini dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya bebas? Apakah diperbolehkan dengan alasan apa saja yang sesuai dengan kehendak hati seorang laki-laki walaupun sifatnya hanya sepele saja? Oleh karena laki-laki itu sudah tidak suka atau tidak senang lagi? Mengenai hal ini, hukum memperbolehkan adanya perceraian: jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya (Ul. 24:1). Ayat inilah yang ditafsirkan secara luas sekali oleh kaum Farisi itu dengan memakai alasan-alasan yang tidak berdasar untuk mengadakan perceraian.
 Saya tidak setuju dengan Pendapat dari Rut Schafer dan Freshia Aprilyn Ross, sekalipun Robert Borrong mengatakan tergantung bagaimana sikap yang paling tepat dalam menghadapi persoalan rumah tangga. Dikarenakan menururt Rut Schafer dan Freshia Aprilyn Ross, bahwa bercerai adalah satu-satunya jalan agar bisa terlepas dari percecokan rumah tangga. Tapi sebetulnya itu adalah salah, setiap persoalan dalam sebuah rumah tangga pasti memiliki jalan keluar (kecuali karena zinah). Saya lebih setuju pandangan yang dikemukakan oleh Prof. G.R Dunstan, Eka Damaputera, dan aturan Gereja HKBP, yang memiliki pandangan kembali kepada kepada ajaran Alkitab yang mengatakan bahwa perceraian dapat dilakukan jika terjadi perzinahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar