LAPORAN BACA
Oleh
Jonathan J Sumangkut
Dosen : Dorkas Retjelina, M.Th
Judul Buku : Bercerai Boleh atau Tidak
Penggarang : Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross
Terbitan : PT BPK Gunung Mulia, Jakarta 10420
Tebal buku : 200 halaman
Saya secara
pribadi memiliki dua pertanyaan penting masalah perceraian:
1. Apakah boleh bercerai?
Berbicara
mengenai perceraian penulis buku tersebut mengatakan bahwa perceraian dapat
diperbolehkan dalam suatu pernikahan termasuk pernikahan Kristen, paling
sedikit apabila terjadi
kekerasan. Seorang yang memilih jalan perceraian
mungkin diakibatakan oleh penderitaan yang tak dapat ia tanggung lagi.
Pernikahan yang berkonflik secara terus menerus sehingga pada akhirnya ikatan
menjadi putus, tidak dapat disembuhkan dengan hanya mengulang-ulang larangan
cerai. Berhenti mempertahankan pernikahan justru dapat
menjadi jalan keluar.
Menurut
Prof. G.R Dunstan yang dikutip oleh Atkinson, bahwa baik perjanjian Allah
maupun perkawinan manusia mengandung 1) suatu prakarsa kasih, yang mengundang
respons, dan dengan demikian menciptakan suatu sambung rasa, 2) Sumpah
kesepakatan, yang melindungi kesatuan itu terhadap ketidaklanggengan perasaan,
3) Kewajiaban-kewajiban kesetiaan, 4) Janji pemberkatan bagi mereka yang setia
pada ketetapan-ketetapan perjanjian itu, dan 5) Pengorbanan, kerelaan untuk
pasrah terhadap kematian, khususnya kematian dari ego kita yang lama, yang
hanya tahu mengutamakan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian Atkinson
menyimpulkan bahwa perkawinan bukanlah status melainkan lebih merupakan
komitmen moral yang harus dijungjung tinggi atau suatu perjanjian yang tidak bisa “rusak” begitu saja.
Pandangan
Alkitab menurut Eka Damaputera. Pertama-tama, apapun pandangan mengenai
perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi
2:16a: “Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel.” Menurut
Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup.
“Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah
dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua
manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan
menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai,
khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini
diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius
19:8). berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa “kecuali
karena zinah” adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan
izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang
memahami “klausa pengecualian” ini sebagai merujuk pada “perzinahan” yang
terjadi pada masa “pertunangan.” Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan
dianggap sudah menikah walaupun mereka masih “bertunangan.” Percabulan dalam
masa “pertunangan” ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.
Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan “perzinahan” bisa berarti
bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan
penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian
diperbolehkan kalau terjadi perzinahan, yaitu terjadi hubungan
seksual di luar pernikahan. Menurut (Robert
Borrong:2006), dalam kesimpulan bukunya mengatakan, bercerai atau tidaknya
antara suami dan istri, tergantung bagaimana sikap yang paling tepat dari
keluarga tersebut dalam menghadapi persoalan suami-istri.
Justru
pendapat Robert Borrong, Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross bertentangan
dengan aturan yang ada di dalam Gereja HKBP, Gereja tidak mengizinkan adanya
perceraian dikarenakan aturan Gereja suku tersebut, dipengaruhi oleh ajaran
Alkitab dan kultur/kebudayaan batak itu sendiri oleh sebab itu menganggap bahwa
perceraian sesuatu yang ‘pantang’, jikalau Gereja HKBP itu memberikan
izin untuk bercerai kalau terjadi perzinahan.Nilai-nilai positif yang
terkandung di dalam adat istiadat batak, misalnya: laki-laki tidak
diperbolehkan menceraikan isterinya dan tidak boleh berzinah. Mereka sudah
mengenal hal tersebut, sebelum datangnya ajaran kekristenan
ke tanah Batak. Saya lebih setuju pandangan yang dikemukakan oleh Prof. G.R
Dunstan, Eka Damaputera, dan aturan Gereja HKBP, yang memiliki pandangan
kembali kepada kepada ajaran Alkitab yang mengatakan bahwa perceraian dapat
dilakukan jika terjadi perzinahan.
2. Apakah
boleh menikah lagi?
Pemberitaan “Yesus” dalam nas Markus 10:10-12 berbeda dengan kebiasaan
dalam sebagian besar umat yahudi pada abad pertama Masehi. Ajaran-Nya
mensyaratkan adanya perceraian atas inisiatif perempuan dan menegaskan
kasetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hal perceraian, perkawinan dan
perzinahan. Yesus memberikan larangan yang sama kepada suami maupun istri, sehingga
tampak bahwa pada bagian ini pandangan maupun pernyataan Yesus tidak berat
sebelah. Yesus melarang perkawinan kembali baik atas prakarsa suami maupun
prakarsa istri.
Komentar pribadi
Pernikahan
adalah sesuatu yang sakral dikarenakan masanya ialah satu kali seumur hidup dan
harus dilakukan dengan penuh dengan tanggung jawab. Terjadinya sebuah
pernikahan akibat dari kedua insan tersebut yang saling berkomitmen akan hidup
bersama baik suka maupun duka, akan tetapi sangat disayangkan untuk saat ini
begitu gampangnya manusia mempermainkan arti sebuah pernikahan yang telah
dipersatukan Allah, yang disebabkan oleh tindakan manusia yang kehendak
bebasanya yang tidak terkontrol dengan baik, yang lupa dengan identitasnya
sesungguhnya.
Pertanyaan yang diajukan
kaum Farisi (Matius 19:3-12) adalah, Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa
saja? Untuk alasan
tertentu perceraian itu bisa saja diperbolehkan, terutama yang disebabkan
oleh karena terjadinya hubungan badan di luar nikah. Tetapi masalahnya, apakah
perceraian itu bisa diperbolehkan untuk alasan apa saja, seperti yang dewasa
ini dilakukan oleh orang-orang yang hidupnya bebas? Apakah diperbolehkan dengan
alasan apa saja yang sesuai dengan kehendak hati seorang laki-laki walaupun
sifatnya hanya sepele saja? Oleh karena laki-laki itu sudah tidak suka atau
tidak senang lagi? Mengenai hal ini, hukum memperbolehkan adanya
perceraian: jika kemudian ia tidak menyukai lagi
perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya (Ul.
24:1). Ayat inilah yang ditafsirkan secara luas sekali oleh kaum Farisi itu
dengan memakai alasan-alasan yang tidak berdasar untuk mengadakan perceraian.
Saya tidak setuju dengan Pendapat dari Rut
Schafer dan Freshia Aprilyn Ross, sekalipun Robert Borrong mengatakan
tergantung bagaimana sikap yang paling tepat dalam menghadapi persoalan rumah
tangga. Dikarenakan menururt Rut Schafer dan Freshia Aprilyn Ross, bahwa bercerai adalah satu-satunya jalan agar
bisa terlepas dari percecokan rumah tangga. Tapi sebetulnya itu adalah
salah, setiap persoalan dalam sebuah rumah tangga pasti memiliki jalan keluar (kecuali karena zinah). Saya lebih
setuju pandangan yang dikemukakan oleh Prof. G.R Dunstan, Eka Damaputera, dan
aturan Gereja HKBP, yang memiliki pandangan kembali kepada kepada ajaran
Alkitab yang mengatakan bahwa perceraian
dapat dilakukan jika terjadi perzinahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar